Memperhatikan
pokok-pokok pikiran di atas, sepertinya sungguh amat sukarlah untuk mengatakan
dengan segera apa fasilitator itu dalam hubungan dengan tugas dan fungsinya,
walau secara implisit hal tersebut telah tersirat di dalamnya. Barangkali akan
lebih mudah menyebutkan beberapa karakteristik fasilitator yang memberi
gambaran peranannya :
- FASILITATOR itu bukan guru. Ia bukan satu-satunya sumber dan penyalur pengetahuan bagi dan kepada murid, Namun demikian salah satu tugasnya adalah mengajar, dengan cara yang khas, yang harus terus-menerus dipelajarinya.
-
FASILITATOR itu bukan
satu-satunya pemilik pengalaman dan dengan demikian dialah satu-satunya
otoritas dalam proses belajar. Namun demikian pengalamannya dapat menjadi
sumber belajar bagi warga belajar lainnya, sama seperti pengalaman mereka dapat
menjadi sumber belajar bagi fasilitator. Pada saat yang sama, walaupun ia bukan
bukan satu-satunya otoritas dalam proses belajar yang harus digugu dan ditiru,
namun salah satu tugasnya adalah memberi, menyajikan MODEL, yang dapat
diteladani dan ditiru oleh warga belajar.
-
FASILITATOR adalah seorang
process-helper. Ia adalah seorang teknisi proses belajar yang mendorong
terjadinya penemuan (discovery) pada warga belajar. Karenanya ia
haruslah seorang yang cakap dalam berkomunikasi, baik secara pribadi
(inter-personal) maupun dalam kelompok. Ia harus cakap dan trampil menggunakan
berbagai media komunikasi. Ia harus seorang yang articulate, yang dapat
menyampaikan maksudnya dengan kata-kata yang jelas dan tepat. Ia harus cakap
dan trampil pula untuk menyajikan permainan-permainan berbagai model pengalaman
berstruktur, dan menggunakan berbagai mode belajar-mengajar untuk menciptakan
suasana belajar yang mendorong penemuan. Ia juga haruslah seorang pendengar
yang baik dan sekaligus penanya yang baik.
-
FASILITATOR adalah seorang
LEARNER, seorang yang sadar bahwa ia juga sedang belajar dan terus-menerus
belajar.
Untuk
dapat menjalankan peran sebagai fasilitator dengan baik, seseorang perlu
memperhatikan beberapa prinsip fasilitasi yang penting, di antaranya :
MENGAJAR
ADALAH SEKALIGUS PROSES BELAJAR BAGI FASILITATOR ITU SENDIRI.
Dengan
menyadari bahwa pada waktu mengajar, seorang fasilitator adalah sekaligus warga
belajar yang juga sedang belajar dari warga belajar yang lain dan dari proses
belajar itu sendiri, maka ia benar-benar “terlibat” dalam proses belajar itu.
Ia tidak akan kehilangan “learning tension”, suatu kegairahan belajar timbal
balik antara warga belajar dan fasilitator, pada waktu ia belajar “hikmat”
baru, cara baru atau pendekatan baru dalam menerapkan suatu kebenaran dalam
situasi hidup, atau penemuan baru tentang dirinya, kekurangannya, hal-hal baru
yang harus didalaminya lebih lanjut untuk menjadi fasilitator yang lebih
mumpuni, yaitu waktu ada pertanyaan-pertanyaan, tantangan belajar, dsb.,yang
tidak ia temukan jawabannya dalam belajar bersama itu. Semuanya itu dapat
terjadi dalam suatu interaksi dengan warga belajar dan dalam kondisi serta
suasana belajar yang terjadi dan diluar ‘PERKIRAAN” proses belajar yang
direncanakannya. Kalau fasilitator tidak terlibat, dan menghindar dari learning
tension, maka proses fasilitasi yang dikelolanya akan menjadi sajian yang
cemplang, seperti masakan tanpa bumbu.
Prinsip
pertama di atas akan terwujud dalam proses fasilitasi bila fasilitator
memperhatikan prinsip kedua : WARGA BELAJAR ADALAH GURU SAYA. Kalau fasilitator
mengganggap dirinya lebih tahu, lebih menguasai pokok bahasan dari warga
belajar, dan mereka dianggap bodoh, tidak tahu, tidak mampu menguasai pokok
bahasan, dsb., maka yang akan terjadi bukanlah proses fasilitasi. Pengalaman
menunjukkan bahwa orang yang benar-benar ahli dalam suatu bidang pengetahuan,
memperlakukan warga belajar yang dihadapinya dengan rasa hormat, dan menjadikan
mereka cermin bagi proses belajarnya sendiri. Kalau warga belajar kurang
dapat memahami pokok bahasan, tidak diartikannya bahwa mereka bodoh, tetapi itu
menjadi cermin baginya untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih
lanjut dalam berkomunikasi. Jadi warga belajar adalah cermin bagi fasilitator
untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih lanjut.
Prinsip
yang ketiga adalah : SIAPA SAYA DAN BAGAIMANA SAYA BERTINDAK LEBIH PENTING
DARIPADA APA YANG SAYA KATAKAN/AJARKAN
Fasilitator
yang baik menampilkan MODEL dari tingkah laku dan sikap hidup
yang dikomunikasikannya dan yang dikehendakinya untuk menjadi pengalaman warga
belajarnya. Berbeda dengan peran guru yang harus serba tahu, seorang
fasilitator dapat menjadi model yang baik dengan mengatakan secara jujur, “SAYA
TIDAK TAHU!” Dengan prinsip di atas, maka proses belajar yang baik perlu suatu
kondisi yang sesuai dengan prinsip berikut yaitu : “SAJIKAN SUASANA BELAJAR
YANG MENDUKUNG PENEMUAN (DISCOVERY)! Dengan mengatakan “saya tidak tahu”,
seorang fasilitator menemukan (discover) kebutuhan belajarnya. Dan ini dapat
menjadi pengalaman yang tersaji bagi warga belajar untuk juga menemukan.
Suasana penemuan adalah suatu pemahaman dan pengalaman yang memerlukan
teknik dan metode yang mendorong warga belajar menemukan sendiri apa yang ingin
dipelajarinya dan apa yang ingin diambil sebagai “pelajaran” atau kebenaran
yang akan diterapkan dalam situasinya. (Ingat, fasilitator adalah seorang
teknisi proses, bukan mahaguru yang serba tahu!). Suasana penemuan yang akan
disajikan atau diciptakan oleh fasilitator adalah suasana yang bercirikan :
-
SALING PERCAYA (TRUST) :
Dimana orang dapat mencoba hal-hal baru, mengemukakan pendapat dan ide-ide
baru, kemungkinan-kemungkinan dan jalan keluar tanpa merasa tertekan, takut
atau terancam.
-
PENERIMAAN (ACCEPTANCE) :
Dimana orang “diterima” apa adanya, walau mereka ditantang untuk mencoba kemampuan
dan ketrampilan serta sikap baru, tanpa ada yang merasa takut akan
“dipermalukan”.
-
KEYAKINAN (CONFIDENCE) :
Pada orang-orang yang mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu, bahwa keputusan itu dibuat atas dasar pemahaman dan keyakinan akan
yang benar dan baik serta bermanfaat untuk dirinya maupun lingkungannya. Dan
kalaupun toh tidak, fasilitator tetap confident, bahwa akibat keputusan itupun
akan tetap dapat menjadi learning point atau peristiwa belajar bagi warga
belajar tersebut.
Prinsip
berikutnya adalah : PRAKTEKKAN EXPERIENTIAL TEACHING, yaitu suatu metode
mengkomunikasikan “peristiwa belajar” (learning points) dengan menciptakan
suatu pengalaman bagi warga belajar. Bisa dilakukan dengan suatu simulasi,
penyajian pengalaman berstruktur yang berupa permainan-permainan, role play
dsb. Pengalaman berstruktur itu kemudian diproses mengikuti langkah-langkah
tertentu sehingga warga belajar dapat “menemukan” apa yang ingin
dipelajarinya. Ingat fasilitator bukan guru!
Prinsip
berikut adalah : MENGAJARKAN DENGAN MMPERHATIKAN POLA BELAJAR WARGA BELAJAR.
Setiap orang mempunyai cara dan pola belajar yang berbeda. Para
ahli membedakan pola belajar dengan berbagai cara. Ada perbedaan dengan menentukan brain dominance
dari warga belajar, artinya, sang warga belajar itu cenderung menggunakan otak
kanan (yang artistik) atau otak kiri (yang scientific). Ada pula yang membedakan pola belajar dari
kepekaan response terhadap indera pendengaran (auditory) atau indera
penglihatan (visual) atau penjamahan (kinesthetic). Ada orang yang mudah belajar dengan mendengar
kuliah atau siaran radio, tape recorder (auditory) dsb. Sedang orang lain
merasa belum belajar kalau belum melakukan sesuatu (kinesthetic), dan lainnya
dengan melihat diagram, demonstrasi, peragaan dsb., mereka dapat lebih memahami
suatu pokok bahasan. Fasilitator perlu mengenal pola belajar warga belajarnya,
dengan demikian ia dapat menggunakan metode, alat-alat peraga materi yang
sesuai dengan pola belajar mereka. Dan yang paling penting, seorang fasilitator
harus mengenali pola belajarnya sendiri. Mengenal pola belajarnya sendiri
adalah langkah pertama menjadi fasilitator yang efektif. Salah satu sebabnya
adalah bahwa seseorang cenderung “mengajar” orang lain dengan pola belajar pribadinya.
Cara yang mudah untuk kita memahami sesuatu kita anggap sebagai cara terbaik
untuk belajar bagi semua orang.
Disamping
hal tsb., tipe kepribadianpun mempengaruhi proses belajar-mengajar. Ada banyak pendekatan
untuk membedakan pola dan tipe kepribadian. Barangkali yang klasik adalah
pendekatan temperamen, dimana dikenal ada empat macam temperamen dengan
masing-masing ciri kepribadian yang berbeda. Temperamen tersebut adalah :
choleric, dengan ciri kepribadian cepat bertindak, keras, berorientasi pada
tujuan; melancholic yang romantis, perasaan, banyak berpikir; analitis yang
berorientasi pada keharmonisan suasana lebih dari tujuan; sanguinis yang
periang, hangat, humor; dan phlegmatik yang dingin, kokoh bagai batu karang,
tidak banyak bicara dan mengeluarkan pendapat.
Diskripsi
tipe kepribadian yang lain yang banyak dikenal adalah introvert dan extrovert,
tipe pemikir dan perasa, atau yang intuitive. Masing-masing dengan ciri
kepribadian, pola tingkah laku dan cara berinteraksi yang berbeda, yang dapat menjadikan
proses belajar penuh dengan ketegangan-ketegangan (tensions) atau suatu
pengalaman yang memperkaya masing-masing warga belajar, tergantung bagaimana
fasilitator membawa dirinya dan menjalankan perannya.
Setelah
memahami beberapa prinsip fasilitasi di atas, seorang fasilitator perlu
mengembangkan sikap-sikap yang mendukung peran dan fungsinya, antara lain :
RENDAH
HATI : Yang terpancar dari sikap dan kesadaran bahwa SAYA TIDAK DAPAT MENGAJAR
ORANG LAIN, karena belajar yang mendalam, yang mempengaruhi sikap hidup dan
tingkah laku adalah suatu PENEMUAN, yang tidak dapat DIAJARKAN, tetapi
diperoleh melalui suatu proses SELF-DISCOVERY. Penemuan-sendiri seperti itu
tidak dapat diajarkan, karena pada waktu diajarkan dampaknya tidak lagi sedalam
dan seefektif penemuan itu sendiri. Karena itu daya tarik menjadi fasilitator
adalah dalam hal menjadi LEARNER, atau warga belajar, bukan guru yang mengajar.
EMPHATI
: Suatu sikap untuk mau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Sensitif
terhadap apa yang menjadi kekhawatiran orang lain, maupun yang paling dianggap
berharga oleh orang lain. Kesedihan warga belajar adalah kesedihannya sendiri.
Sukacita mereka adalah sukacitanya. Warga belajar sendiri. Kita sendirilah yang
paling tepat memilih dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat.
Sumber-sumber
dan Acuan :
1.
Srinivasan, Lyra, Perspective on Non-Formal Adult Learning, World Education, 1977
2.
Fordham, Paul, Participation, Learning and Change, Commonwealth Secretariate,
1980
3.
Knowles, Malcolm S., The Modern Practice of Adult Education, Follet Publishing Company,1980.
4.
Kyle, David, World Vision Train the Trainer Workshop, Skopos Corporation, 1984
5.
La Haye, T., Spirit Controlled Temperament
6.
Materi Lokakarya Cross-Cultural Facilitator’s Workshop.
7.
Bina Swadaya, Risalah Lokakarya Media Pendidikan Orang Dewasa, 1981