Menjadi Fasilitator 2


Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, sepertinya sungguh amat sukarlah untuk mengatakan dengan segera apa fasilitator itu dalam hubungan dengan tugas dan fungsinya, walau secara implisit hal tersebut telah tersirat di dalamnya. Barangkali akan lebih mudah menyebutkan beberapa karakteristik fasilitator yang memberi gambaran peranannya :

-          FASILITATOR itu bukan guru. Ia bukan satu-satunya sumber dan penyalur pengetahuan bagi dan kepada murid, Namun demikian salah satu tugasnya adalah mengajar, dengan cara yang khas, yang harus terus-menerus dipelajarinya.
-          FASILITATOR itu bukan satu-satunya pemilik pengalaman dan dengan demikian dialah satu-satunya otoritas dalam proses belajar. Namun demikian pengalamannya dapat menjadi sumber belajar bagi warga belajar lainnya, sama seperti pengalaman mereka dapat menjadi sumber belajar bagi fasilitator. Pada saat yang sama, walaupun ia bukan bukan satu-satunya otoritas dalam proses belajar yang harus digugu dan ditiru, namun salah satu tugasnya adalah memberi, menyajikan MODEL, yang dapat diteladani dan ditiru oleh warga belajar.
-          FASILITATOR adalah seorang process-helper. Ia adalah seorang teknisi proses belajar yang mendorong terjadinya penemuan (discovery) pada warga belajar. Karenanya ia haruslah seorang yang cakap dalam berkomunikasi, baik secara pribadi (inter-personal) maupun dalam kelompok. Ia harus cakap dan trampil menggunakan berbagai media komunikasi. Ia harus seorang yang articulate, yang dapat menyampaikan maksudnya dengan kata-kata yang jelas dan tepat. Ia harus cakap dan trampil pula untuk menyajikan permainan-permainan berbagai model pengalaman berstruktur, dan menggunakan berbagai mode belajar-mengajar untuk menciptakan suasana belajar yang mendorong penemuan. Ia juga haruslah seorang pendengar yang baik dan sekaligus penanya yang baik.
-          FASILITATOR adalah seorang LEARNER, seorang yang sadar bahwa ia juga sedang belajar dan terus-menerus belajar.

Untuk dapat menjalankan peran sebagai fasilitator dengan baik, seseorang perlu memperhatikan beberapa prinsip fasilitasi yang penting, di antaranya :

MENGAJAR ADALAH SEKALIGUS PROSES BELAJAR BAGI FASILITATOR ITU SENDIRI.

Dengan menyadari bahwa pada waktu mengajar, seorang fasilitator adalah sekaligus warga belajar yang juga sedang belajar dari warga belajar yang lain dan dari proses belajar itu sendiri, maka ia benar-benar “terlibat” dalam proses belajar itu. Ia tidak akan kehilangan “learning tension”, suatu kegairahan belajar timbal balik antara warga belajar dan fasilitator, pada waktu ia belajar “hikmat” baru, cara baru atau pendekatan baru dalam menerapkan suatu kebenaran dalam situasi hidup, atau penemuan baru tentang dirinya, kekurangannya, hal-hal baru yang harus didalaminya lebih lanjut untuk menjadi fasilitator yang lebih mumpuni, yaitu waktu ada pertanyaan-pertanyaan, tantangan belajar, dsb.,yang tidak ia temukan jawabannya dalam belajar bersama itu. Semuanya itu dapat terjadi dalam suatu interaksi dengan warga belajar dan dalam kondisi serta suasana belajar yang terjadi dan diluar ‘PERKIRAAN” proses belajar yang direncanakannya. Kalau fasilitator tidak terlibat, dan menghindar dari learning tension, maka proses fasilitasi yang dikelolanya akan menjadi sajian yang cemplang, seperti masakan tanpa bumbu.

Prinsip pertama di atas akan terwujud dalam proses fasilitasi bila fasilitator memperhatikan prinsip kedua : WARGA BELAJAR ADALAH GURU SAYA. Kalau fasilitator mengganggap dirinya lebih tahu, lebih menguasai pokok bahasan dari warga belajar, dan mereka dianggap bodoh, tidak tahu, tidak mampu menguasai pokok bahasan, dsb., maka yang akan terjadi bukanlah proses fasilitasi. Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang benar-benar ahli dalam suatu bidang pengetahuan, memperlakukan warga belajar yang dihadapinya dengan rasa hormat, dan menjadikan mereka cermin bagi proses belajarnya sendiri. Kalau warga belajar kurang dapat memahami pokok bahasan, tidak diartikannya bahwa mereka bodoh, tetapi itu menjadi cermin baginya untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih lanjut dalam berkomunikasi. Jadi warga belajar adalah cermin bagi fasilitator untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih lanjut.

Prinsip yang ketiga adalah : SIAPA SAYA DAN BAGAIMANA SAYA BERTINDAK LEBIH PENTING DARIPADA APA YANG SAYA KATAKAN/AJARKAN
Fasilitator yang baik menampilkan MODEL dari tingkah laku dan sikap hidup yang dikomunikasikannya dan yang dikehendakinya untuk menjadi pengalaman warga belajarnya. Berbeda dengan peran guru yang harus serba tahu, seorang fasilitator dapat menjadi model yang baik dengan mengatakan secara jujur, “SAYA TIDAK TAHU!” Dengan prinsip di atas, maka proses belajar yang baik perlu suatu kondisi yang sesuai dengan prinsip berikut yaitu : “SAJIKAN SUASANA BELAJAR YANG MENDUKUNG PENEMUAN (DISCOVERY)! Dengan mengatakan “saya tidak tahu”, seorang fasilitator menemukan (discover) kebutuhan belajarnya. Dan ini dapat menjadi pengalaman yang tersaji bagi warga belajar untuk juga menemukan. Suasana penemuan adalah suatu pemahaman dan pengalaman yang memerlukan teknik dan metode yang mendorong warga belajar menemukan sendiri apa yang ingin dipelajarinya dan apa yang ingin diambil sebagai “pelajaran” atau kebenaran yang akan diterapkan dalam situasinya. (Ingat, fasilitator adalah seorang teknisi proses, bukan mahaguru yang serba tahu!). Suasana penemuan yang akan disajikan atau diciptakan oleh fasilitator adalah suasana yang bercirikan :
-          SALING PERCAYA (TRUST) : Dimana orang dapat mencoba hal-hal baru, mengemukakan pendapat dan ide-ide baru, kemungkinan-kemungkinan dan jalan keluar tanpa merasa tertekan, takut atau terancam.
-          PENERIMAAN (ACCEPTANCE) : Dimana orang “diterima” apa adanya, walau mereka ditantang untuk mencoba kemampuan dan ketrampilan serta sikap baru, tanpa ada yang merasa takut akan “dipermalukan”.
-          KEYAKINAN (CONFIDENCE) : Pada orang-orang yang mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, bahwa keputusan itu dibuat atas dasar pemahaman dan keyakinan akan yang benar dan baik serta bermanfaat untuk dirinya maupun lingkungannya. Dan kalaupun toh tidak, fasilitator tetap confident, bahwa akibat keputusan itupun akan tetap dapat menjadi learning point atau peristiwa belajar bagi warga belajar tersebut.

Prinsip berikutnya adalah : PRAKTEKKAN EXPERIENTIAL TEACHING, yaitu suatu metode mengkomunikasikan “peristiwa belajar” (learning points) dengan menciptakan suatu pengalaman bagi warga belajar. Bisa dilakukan dengan suatu simulasi, penyajian pengalaman berstruktur yang berupa permainan-permainan, role play dsb. Pengalaman berstruktur itu kemudian diproses mengikuti langkah-langkah tertentu sehingga warga belajar dapat “menemukan” apa yang ingin dipelajarinya. Ingat fasilitator bukan guru!

Prinsip berikut adalah : MENGAJARKAN DENGAN MMPERHATIKAN POLA BELAJAR WARGA BELAJAR. Setiap orang mempunyai cara dan pola belajar yang berbeda. Para ahli membedakan pola belajar dengan berbagai cara. Ada perbedaan dengan menentukan brain dominance dari warga belajar, artinya, sang warga belajar itu cenderung menggunakan otak kanan (yang artistik) atau otak kiri (yang scientific). Ada pula yang membedakan pola belajar dari kepekaan response terhadap indera pendengaran (auditory) atau indera penglihatan (visual) atau penjamahan (kinesthetic). Ada orang yang mudah belajar dengan mendengar kuliah atau siaran radio, tape recorder (auditory) dsb. Sedang orang lain merasa belum belajar kalau belum melakukan sesuatu (kinesthetic), dan lainnya dengan melihat diagram, demonstrasi, peragaan dsb., mereka dapat lebih memahami suatu pokok bahasan. Fasilitator perlu mengenal pola belajar warga belajarnya, dengan demikian ia dapat menggunakan metode, alat-alat peraga materi yang sesuai dengan pola belajar mereka. Dan yang paling penting, seorang fasilitator harus mengenali pola belajarnya sendiri. Mengenal pola belajarnya sendiri adalah langkah pertama menjadi fasilitator yang efektif. Salah satu sebabnya adalah bahwa seseorang cenderung “mengajar” orang lain dengan pola belajar pribadinya. Cara yang mudah untuk kita memahami sesuatu kita anggap sebagai cara terbaik untuk belajar bagi semua orang.

Disamping hal tsb., tipe kepribadianpun mempengaruhi proses belajar-mengajar. Ada banyak pendekatan untuk membedakan pola dan tipe kepribadian. Barangkali yang klasik adalah pendekatan temperamen, dimana dikenal ada empat macam temperamen dengan masing-masing ciri kepribadian yang berbeda. Temperamen tersebut adalah : choleric, dengan ciri kepribadian cepat bertindak, keras, berorientasi pada tujuan; melancholic yang romantis, perasaan, banyak berpikir; analitis yang berorientasi pada keharmonisan suasana lebih dari tujuan; sanguinis yang periang, hangat, humor; dan phlegmatik yang dingin, kokoh bagai batu karang, tidak banyak bicara dan mengeluarkan pendapat.

Diskripsi tipe kepribadian yang lain yang banyak dikenal adalah introvert dan extrovert, tipe pemikir dan perasa, atau yang intuitive. Masing-masing dengan ciri kepribadian, pola tingkah laku dan cara berinteraksi yang berbeda, yang dapat menjadikan proses belajar penuh dengan ketegangan-ketegangan (tensions) atau suatu pengalaman yang memperkaya masing-masing warga belajar, tergantung bagaimana fasilitator membawa dirinya dan menjalankan perannya.
Setelah memahami beberapa prinsip fasilitasi di atas, seorang fasilitator perlu mengembangkan sikap-sikap yang mendukung peran dan fungsinya, antara lain :

RENDAH HATI : Yang terpancar dari sikap dan kesadaran bahwa SAYA TIDAK DAPAT MENGAJAR ORANG LAIN, karena belajar yang mendalam, yang mempengaruhi sikap hidup dan tingkah laku adalah suatu PENEMUAN, yang tidak dapat DIAJARKAN, tetapi diperoleh melalui suatu proses SELF-DISCOVERY. Penemuan-sendiri seperti itu tidak dapat diajarkan, karena pada waktu diajarkan dampaknya tidak lagi sedalam dan seefektif penemuan itu sendiri. Karena itu daya tarik menjadi fasilitator adalah dalam hal menjadi LEARNER, atau warga belajar, bukan guru yang mengajar.

EMPHATI : Suatu sikap untuk mau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Sensitif terhadap apa yang menjadi kekhawatiran orang lain, maupun yang paling dianggap berharga oleh orang lain. Kesedihan warga belajar adalah kesedihannya sendiri. Sukacita mereka adalah sukacitanya. Warga belajar sendiri. Kita sendirilah yang paling tepat memilih dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat.

Sumber-sumber dan Acuan :

1. Srinivasan, Lyra, Perspective on Non-Formal Adult Learning, World Education, 1977
2. Fordham, Paul, Participation, Learning and Change, Commonwealth Secretariate, 1980
3. Knowles, Malcolm S., The Modern Practice of Adult Education, Follet Publishing Company,1980.
4. Kyle, David, World Vision Train the Trainer Workshop, Skopos Corporation, 1984
5. La Haye, T., Spirit Controlled Temperament
6. Materi Lokakarya Cross-Cultural Facilitator’s Workshop.
7. Bina Swadaya, Risalah Lokakarya Media Pendidikan Orang Dewasa, 1981