Menjadi Fasilitator 1


Oleh : Tri Budiardjo
FASILITATOR adalah sebuah sebutan fungsi dalam proses belajar-mengajar. Kata itu berasal dari bahasa Latin yang mempunyai pengertian : menjadikan sesuatu dapat berjalan dengan lancar, mulus, seperti fungsi minyak pelumas pada engsel pintu. Jadi kata fasilitator mempunyai pengertian dasar : menjadikan mudah, menjadikan sesuatu berlangsung mulus, atau memperlancar proses.

Kata FASILITATOR dalam bahasan ini dipakai dalam konteks belajar-mengajar yang didasarkan pada suatu pendekatan belajar yang khas, yang disebut pendidikan orang dewasa, pendidikan luar sekolah, atau secara umum, pendidikan non-formal. Oleh karena itu untuk memahami peran FASILITATOR, perlu dipahami konsep dan pendidikan non-formal tersebut. Pendidikan non-formal, bukanlah sekedar jenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan formal. Terlalu sempit pula barangkali kalau pendidikan non-formal ini dilihat sebagai cara baru, metoda mendidik baru atau bentuk baru mendidik. Pendidikan non-formal ini mempunyai essensi dan tujuan yang sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Pendekatan terhadap proses belajar-mengajar yang non-formal ini dapat dilihat sebagai suatu muara yang terjadi dari berbagai arus/aliran sungai-sungai pikiran dan disiplin yang beraneka ragam. Pendidikan non-formal ini dapat dikatakan berakar pada suatu proses analisa sosial yang melahirkan gerakan-gerakan yang memberontak terhadap sekolah. Tetapi pada saat yang sama berhutang budi pada pendekatan penerapan psikoterapi (yang biasa dilakukan pada konsultasi individu) pada dunia pendidikan yang dikenal sebagai pendekatan non-directive teaching. Demikian pula, pendidikan non-formal ini berkembang tak lepas dari perkembangan ilmu pendidikan. Khususnya yang dikenal sebagai Andragogy atau pendidikan orang dewasa.

Nama-nama Ivan Illich dan Paulo Freire akan sangat sering terdengar bila pendidikan non-formal dibicarakan. Memang mereka berdualah yang memberontak terhadap sistim sekolah. Keduanya menggugat peranan guru dan sekolah yang terlalu berlebihan. Ijasah, diploma, gelar dsb, mengkelaskan orang menurut apa yang telah diajarkan kepada mereka oleh guru - dengan demikian dianggap telah memenuhi syarat, dianggap sebagai yang berhak untuk menjalankan suatu fungsi kemasyarakatan, berhak mendapat previlege tertentu, yang tidak boleh dimiliki oleh mereka yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut.

Hal ini terjadi, menurut Illich, karena asumsi yang keliru bahwa “ada suatu rahasia” untuk segala sesuatu dalam hidup ini. Dan kwalitas hidup itu tergantung pada seberapa banyak rahasia itu dapat dimengerti oleh seseorang, dan bahwa rahasia itu hanya dapat dinyatakan dan dipelajari secara bertahap-tahap dan teratur dan yang dapat membuka serta menyatakan rahasia itu adalah sang guru saja. Guru menjadi agen tunggal dan satu-satunya penyalur rahasia hidup yaitu pengetahuan. Oleh karena itu Illich menganjurkan suatu pendekatan proses belajar yang menyungsangkan konsep sekolah, dimana murid adalah yang memutuskan, dalam hubungannya dengan lingkungannya, untuk memilih apa yang mau ia pelajari dan dari siapa ia mau belajar. Pusat belajar tidak pada guru, tetapi pada murid.

Bagi Freire, pendidikan formal dilihat sebagai sistim bank, dimana guru sebagai bank informasi yang menstransfer pengetahuan dan informasi yang penting bagi hidup ke kepala murid. Dengan demikian hubungan guru dan murid adalah hubungan yang vertikal, antara yang lebih tahu dengan yang tidak tahu apa-apa, antara yang berbicara dan yang hanya mendengar. Inilah hubungan paternalistis yang dikecamnya. Pendekatan pendidikan seperti ini tidak menjadikan murid dilengkapi kesadaran akan (dan dengan demikian mampu menanggapi) realita konkrit dunia mereka. Sekolah dianggap menjadi instrument yang paling menentukan dalam membentuk dan mempertahankan budaya “inggih sendiko” dan budaya “diam” masyarakat.

Menurut Freire, pendidikan seharusnya mampu menolong orang menjadi makin sadar dan mampu bertanggung jawab bagi dirinya dan dunianya melalui proses refleksi, aksi-refleksi, dst., yang disebutnya sebagai praksis. Inti belajar ialah suatu penemuan (discovery) bukan suatu dikte, yang dapat terjadi melalui suatu dialog horizontal dimana : tak seorangpun mengajar orang lain, tidak ada orang yang dapat belajar sendiri, dan orang belajar bersama dan bertindak bersama terhadap realitanya. Dengan demikian sumber belajar bukan pada guru, tetapi guru dan murid belajar bersama-sama. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk terjadinya proses dimana mereka sama-sama bertumbuh. Proses ini dikenal sebagai conscientizacao (conscientizacion), yang diartikan sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran diri yang positif dari seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan dan masyarakatnya. Oleh banyak orang itu sering disebut sebagai proses penyadaran diri, walau istilah itu belum cukup menggambarkan makna yang terkandung dalam conscientizacao itu.

Istilah penyadaran diri atau sejenisnya sebenarnya telah banyak dipakai oleh para psikolog maupun psikoterapis seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow. Penerapan pendekatan psikoterapi dalam proses belajar-mengajar ini oleh Carl Rogers diartikan sebagai tanggung jawab guru untuk mendorong dan menolong menumbuhkan kapasitas warga belajar untuk memilih dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Guru harus “beriman”, bahwa dalam kondisi-kondisi yang tepat warga belajar akan menyataragakan kemampuan dan kapasitas untuk bertumbuh, menguji diri sendiri secara kritis, mengejar kemahiran dan secara kreatif mengekspresikan diri. Dalam proses belajar seperti ini guru mempunyai peran ganda, sebagai warga belajar yang juga sedang belajar dan sekaligus sebagai nara sumber yang menyediakan struktur belajar dan pengacu proses. Fungsinya, menurut Rogers, adalah menciptakan suasana bagi keterlibatan kelompok warga belajar dengan mengkomunikasikan kepercayaan (trust) yang murni dalam kelompok melalui berbagai cara yang cerdik.

Searah dengan Rogers, Maslow memperkenalkan konsep self actualization, suatu pengembangan (ekspansi) citra diri yang positif, pengembangan batiniah, tendensi berbuat baik, makin bertumbuhnya pemahaman dan apresiasi terhadap sesama, alam semesta dan diri sendiri, makin bertumbuhnya penerimaan diri, pemanfaatan bakat dan menikmatinya, bertumbuhnya sikap percaya diri dan kemandirian, dan sebagai hasil kesemuanya itu, bertumbuhnya kemampuan yang makin besar untuk mengubah dan membentuk lingkungan. Menurutnya, hidup lebih baik dapat terjadi kalau orang mengenal dirinya sendiri secara baru, baik secara pribadi maupun sebagai mahluk sosial. Persepsi dan perasaan positif melahirkan tindakan-tindakan yang positif. Kesadaran diri-baru yang terwujudkan dalam perilaku yang positif, dibedakan dari perilaku mampu mengatasi masalah (problem solving behaviour) yang merupakan salah satu aspek belajar. Jereme S. Bruner memperkenalkan konsep “autonomy of self reward”, suatu “pahala” yang dengan sendirinya diterima dan dialami oleh warga belajar bila kemauan belajar itu timbul dari motivasi warga belajar itu sendiri dan bila mereka secara relatif bebas dari “iming-iming” pahala dari luar (ijasah, sertifikat, status keteladanan dsb.) maupun bebas dari ketakutan pada “penghakiman” (tidak lulus, tidak memenuhi syarat, belum bisa, bodoh, dsb). Dengan demikian warga belajar akan cenderung mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dan keyakinan diri untuk mencari alternatif, pilihan-pilihan jalan keluar bagi permasalahannya. Peranan guru disini adalah dalam hal penyediaan kondisi sedemikian rupa sehingga warga belajar akan bertumbuh kemampuannya dalam mengatasi masalahnya.

Tidaklah lengkap membahas pendidikan non-formal tanpa menyebut Malcolm S. Knowles yang sering dijuluki sebagai bapak pendidikan orang dewasa (andragogy). Asumsi dasar andragogy yang dikembangkannya adalah bahwa orang dewasa mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam untuk tidak hanya bertanggung jawab (self directing) tetapi juga untuk dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bertanggung jawab (self-directing). Oleh karena guru tidak boleh memaksakan keinginan dan pandangannya pada murid (yang adalah orang dewasa) tetapi memberikan tanggung jawab belajar pada murid itu sendiri. Keterlibatan diri adalah kunci bagi proses belajar. Karenanya perlu dikembangkan teknik-teknik belajar dimana warga belajar yang adalah orang dewasa dapat menilai kebutuhan-kebutuhannya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, ambil bagian dalam tanggung jawab mengadakan “pengalaman belajar” dan mengevaluasi sendiri program-program belajarnya.

Dalam proses ini peranan guru adalah sebagai “teknisi profesional” bagi proses belajar. Dia bukan penyalur informasi dan pengetahuan. Ia adalah pembimbing proses dan pada saat sama nara sumber bagi proses belajar. Mengajar yang baik adalah mengelola dengan baik interaksi antara dua variabel belajar yang penting yaitu warga belajar dan lingkungan/suasana belajarnya.
Dibandingkan dengan pendidikan formal pada umumnya, maka ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan orang dewasa:
1. PANDANGAN TENTANG DIRI WARGA BELAJAR (SELF-CONCEPT)
Anak-anak (dan murid pada umumnya) melihat dirinya sebagai dan dalam hubungan tergantung (dependent). Tidak demikian halnya dengan orang dewasa yang melihat dirinya atau paling tidak ingin dilihat oleh orang lain sebagai pribadi yang independen, bertanggung jawab dan self-directing. Memperlakukan mereka sebagai anak seperti menggurui, mengganggap tidak tahu dan tidak punya pengalaman, tidak hormat, menyalahkan dsb., sangat tidak memungkinkan terjadinya proses belajar.

2. PENGALAMAN
Seseorang adalah akumulasi pengalamannya. Seorang dewasa adalah melimpah dengan pengalaman. Dan pengalaman itu adalah sumber belajarnya. Mengabaikan pengalaman warga belajar sama dengan membatalkan kemungkinan belajar.

3. KESIAPAN BELAJAR
Dalam pendidikan formal kesiapan belajar ditentukan dalam kurikulum. Sebelum seorang siap belajar membaca, ia harus mengenal huruf terlebih dahulu. Tidak demikian dengan kesiapan belajar bagi orang dewasa. Mereka sendiri yang menentukan apa yang perlu mereka pelajari berdasarkan persepsi mereka terhadap tuntutan-tuntutan situasinya.

4. PERSPEKTIF WAKTU
Orang dewasa belajar untuk menghadapi situasinya SAAT ini. Ini yang membedakannya dari perlunya belajar seorang murid. Murid belajar untuk masa depannya. Yang dipelajarinya diperlukan untuk nanti, bukan sekarang. Ia belajar untuk TAMAT, dan kemudian masuk ke dunia BERBUAT, yang bukan belajar lagi. Tetapi hakekat hidup tidaklah demikian. Belajar adalah proses yang tidak pernah berhenti dalam hidup. “All living is learning”, kata Confucius. Dan ini benar untuk pendidikan orang dewasa, dimana belajar bukan merupakan PERSIAPAN bagi MASA DEPAN, tetapi justru hakekat hidup ini adalah BELAJAR.

5. MATERI BELAJAR
Searah dengan perspektif waktu di atas, orang dewasa belajar untuk memecahkan masalah. Materi belajarnya adalah “problem centered”. Pendidikan orang dewasa adalah proses penemuan masalah dan penemuan pemecahan masalah. Orientasinya adalah PENEMUAN.

Demikianlah berbagai arus pemikiran yang bermuara dalam suatu pendekatan belajar-mengajar yang dikenal sebagai pendidikan non-formal, dimana masing-masing memberi segi yang unik yang menjadikan keseluruhannya suatu “mutiara” berharga bagi proses belajar dan mengajar. Di dalamnya terkandung pemahaman baru tentang hakekat peranan dan hubungan antara guru dan murid.

Sedemikian berbedanya konotasi guru dalam pendidikan formal dibandingkan dengan pendidikan non-formal ini, sehingga istilah FASILITATOR yang dirasa lebih mewakili peranannya dan sering digunakan. Demikian pula murid, lebih dikenal sebagai WARGA BELAJAR.
Untuk memberi gambaran yang lebih luas tentang pendidikan non-formal ini dalam keterhubungannya maupun perbedaan dan persamaannya dengan bentuk dan pendekatan pendidikan yang lain, disajikan diagram di bawah ini.