Oleh : Tri Budiardjo
FASILITATOR
adalah sebuah sebutan fungsi dalam proses belajar-mengajar. Kata itu berasal
dari bahasa Latin yang mempunyai pengertian : menjadikan sesuatu dapat berjalan
dengan lancar, mulus, seperti fungsi minyak pelumas pada engsel pintu. Jadi
kata fasilitator mempunyai pengertian dasar : menjadikan mudah, menjadikan
sesuatu berlangsung mulus, atau memperlancar proses.
Kata
FASILITATOR dalam bahasan ini dipakai dalam konteks belajar-mengajar yang
didasarkan pada suatu pendekatan belajar yang khas, yang disebut pendidikan
orang dewasa, pendidikan luar sekolah, atau secara umum, pendidikan non-formal.
Oleh karena itu untuk memahami peran FASILITATOR, perlu dipahami konsep dan
pendidikan non-formal tersebut. Pendidikan non-formal, bukanlah sekedar jenis
pendidikan yang berbeda dari pendidikan formal. Terlalu sempit pula barangkali
kalau pendidikan non-formal ini dilihat sebagai cara baru, metoda
mendidik baru atau bentuk baru mendidik. Pendidikan non-formal ini mempunyai
essensi dan tujuan yang sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya.
Pendekatan terhadap proses belajar-mengajar yang non-formal ini dapat dilihat
sebagai suatu muara yang terjadi dari berbagai arus/aliran sungai-sungai
pikiran dan disiplin yang beraneka ragam. Pendidikan non-formal ini dapat
dikatakan berakar pada suatu proses analisa sosial yang melahirkan
gerakan-gerakan yang memberontak terhadap sekolah. Tetapi pada saat yang sama berhutang
budi pada pendekatan penerapan psikoterapi (yang biasa dilakukan pada
konsultasi individu) pada dunia pendidikan yang dikenal sebagai pendekatan
non-directive teaching. Demikian pula, pendidikan non-formal ini berkembang tak
lepas dari perkembangan ilmu pendidikan. Khususnya yang dikenal sebagai
Andragogy atau pendidikan orang dewasa.
Nama-nama
Ivan Illich dan Paulo Freire akan sangat sering terdengar bila pendidikan
non-formal dibicarakan. Memang mereka berdualah yang memberontak terhadap
sistim sekolah. Keduanya menggugat peranan guru dan sekolah yang terlalu berlebihan.
Ijasah, diploma, gelar dsb, mengkelaskan orang menurut apa yang telah diajarkan
kepada mereka oleh guru - dengan demikian dianggap telah memenuhi syarat,
dianggap sebagai yang berhak untuk menjalankan suatu fungsi kemasyarakatan, berhak
mendapat previlege tertentu, yang tidak boleh dimiliki oleh mereka yang belum
memenuhi syarat-syarat tersebut.
Hal
ini terjadi, menurut Illich, karena asumsi yang keliru bahwa “ada suatu
rahasia” untuk segala sesuatu dalam hidup ini. Dan kwalitas hidup itu tergantung
pada seberapa banyak rahasia itu dapat dimengerti oleh seseorang, dan bahwa
rahasia itu hanya dapat dinyatakan dan dipelajari secara bertahap-tahap dan
teratur dan yang dapat membuka serta menyatakan rahasia itu adalah sang guru
saja. Guru menjadi agen tunggal dan satu-satunya penyalur rahasia hidup yaitu
pengetahuan. Oleh karena itu Illich menganjurkan suatu pendekatan proses
belajar yang menyungsangkan konsep sekolah, dimana murid adalah yang
memutuskan, dalam hubungannya dengan lingkungannya, untuk memilih apa yang
mau ia pelajari dan dari siapa ia mau belajar. Pusat belajar tidak pada
guru, tetapi pada murid.
Bagi
Freire, pendidikan formal dilihat sebagai sistim bank, dimana guru sebagai bank
informasi yang menstransfer pengetahuan dan informasi yang penting bagi hidup
ke kepala murid. Dengan demikian hubungan guru dan murid adalah hubungan yang
vertikal, antara yang lebih tahu dengan yang tidak tahu apa-apa, antara yang
berbicara dan yang hanya mendengar. Inilah hubungan paternalistis yang dikecamnya.
Pendekatan pendidikan seperti ini tidak menjadikan murid dilengkapi kesadaran
akan (dan dengan demikian mampu menanggapi) realita konkrit dunia mereka. Sekolah
dianggap menjadi instrument yang paling menentukan dalam membentuk dan
mempertahankan budaya “inggih sendiko” dan budaya “diam” masyarakat.
Menurut
Freire, pendidikan seharusnya mampu menolong orang menjadi makin sadar dan
mampu bertanggung jawab bagi dirinya dan dunianya melalui proses refleksi,
aksi-refleksi, dst., yang disebutnya sebagai praksis. Inti belajar ialah suatu
penemuan (discovery) bukan suatu dikte, yang dapat terjadi melalui suatu dialog
horizontal dimana : tak seorangpun mengajar orang lain, tidak ada orang yang
dapat belajar sendiri, dan orang belajar bersama dan bertindak bersama terhadap
realitanya. Dengan demikian sumber belajar bukan pada guru, tetapi guru dan
murid belajar bersama-sama. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk terjadinya
proses dimana mereka sama-sama bertumbuh. Proses ini dikenal sebagai
conscientizacao (conscientizacion), yang diartikan sebagai upaya untuk
membangkitkan kesadaran diri yang positif dari seseorang dalam hubungannya
dengan lingkungan dan masyarakatnya. Oleh banyak orang itu sering disebut
sebagai proses penyadaran diri, walau istilah itu belum cukup
menggambarkan makna yang terkandung dalam conscientizacao itu.
Istilah
penyadaran diri atau sejenisnya sebenarnya telah banyak dipakai oleh para
psikolog maupun psikoterapis seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow. Penerapan
pendekatan psikoterapi dalam proses belajar-mengajar ini oleh Carl Rogers
diartikan sebagai tanggung jawab guru untuk mendorong dan menolong menumbuhkan
kapasitas warga belajar untuk memilih dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Guru
harus “beriman”, bahwa dalam kondisi-kondisi yang tepat warga belajar
akan menyataragakan kemampuan dan kapasitas untuk bertumbuh, menguji diri
sendiri secara kritis, mengejar kemahiran dan secara kreatif mengekspresikan
diri. Dalam proses belajar seperti ini guru mempunyai peran ganda, sebagai
warga belajar yang juga sedang belajar dan sekaligus sebagai nara sumber yang menyediakan struktur belajar
dan pengacu proses. Fungsinya, menurut Rogers , adalah menciptakan suasana
bagi keterlibatan kelompok warga belajar dengan mengkomunikasikan kepercayaan
(trust) yang murni dalam kelompok melalui berbagai cara yang cerdik.
Searah
dengan Rogers, Maslow memperkenalkan konsep self actualization, suatu
pengembangan (ekspansi) citra diri yang positif, pengembangan batiniah,
tendensi berbuat baik, makin bertumbuhnya pemahaman dan apresiasi terhadap
sesama, alam semesta dan diri sendiri, makin bertumbuhnya penerimaan diri,
pemanfaatan bakat dan menikmatinya, bertumbuhnya sikap percaya diri dan
kemandirian, dan sebagai hasil kesemuanya itu, bertumbuhnya kemampuan yang
makin besar untuk mengubah dan membentuk lingkungan. Menurutnya, hidup
lebih baik dapat terjadi kalau orang mengenal dirinya sendiri secara baru, baik
secara pribadi maupun sebagai mahluk sosial. Persepsi dan perasaan positif melahirkan
tindakan-tindakan yang positif. Kesadaran diri-baru yang terwujudkan dalam
perilaku yang positif, dibedakan dari perilaku mampu mengatasi masalah (problem
solving behaviour) yang merupakan salah satu aspek belajar. Jereme S. Bruner
memperkenalkan konsep “autonomy of self reward”, suatu “pahala” yang dengan sendirinya
diterima dan dialami oleh warga belajar bila kemauan belajar itu timbul dari
motivasi warga belajar itu sendiri dan bila mereka secara relatif bebas dari
“iming-iming” pahala dari luar (ijasah, sertifikat, status keteladanan dsb.)
maupun bebas dari ketakutan pada “penghakiman” (tidak lulus, tidak memenuhi syarat,
belum bisa, bodoh, dsb). Dengan demikian warga belajar akan cenderung
mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dan keyakinan diri untuk mencari
alternatif, pilihan-pilihan jalan keluar bagi permasalahannya. Peranan guru
disini adalah dalam hal penyediaan kondisi sedemikian rupa sehingga
warga belajar akan bertumbuh kemampuannya dalam mengatasi masalahnya.
Tidaklah
lengkap membahas pendidikan non-formal tanpa menyebut Malcolm S. Knowles yang
sering dijuluki sebagai bapak pendidikan orang dewasa (andragogy). Asumsi dasar
andragogy yang dikembangkannya adalah bahwa orang dewasa mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam untuk tidak hanya bertanggung jawab (self directing)
tetapi juga untuk dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bertanggung
jawab (self-directing). Oleh karena guru tidak boleh memaksakan keinginan dan
pandangannya pada murid (yang adalah orang dewasa) tetapi memberikan tanggung
jawab belajar pada murid itu sendiri. Keterlibatan diri adalah kunci bagi
proses belajar. Karenanya perlu dikembangkan teknik-teknik belajar dimana warga
belajar yang adalah orang dewasa dapat menilai kebutuhan-kebutuhannya sendiri,
merumuskan tujuan belajarnya sendiri, ambil bagian dalam tanggung jawab
mengadakan “pengalaman belajar” dan mengevaluasi sendiri program-program
belajarnya.
Dalam
proses ini peranan guru adalah sebagai “teknisi profesional” bagi proses
belajar. Dia bukan penyalur informasi dan pengetahuan. Ia adalah
pembimbing proses dan pada saat sama nara
sumber bagi proses belajar. Mengajar yang baik adalah mengelola dengan baik
interaksi antara dua variabel belajar yang penting yaitu warga belajar dan
lingkungan/suasana belajarnya.
Dibandingkan
dengan pendidikan formal pada umumnya, maka ada 5 hal yang perlu diperhatikan
dalam pendidikan orang dewasa:
1.
PANDANGAN TENTANG DIRI WARGA BELAJAR (SELF-CONCEPT)
Anak-anak (dan murid pada umumnya) melihat dirinya
sebagai dan dalam hubungan tergantung (dependent). Tidak demikian halnya dengan
orang dewasa yang melihat dirinya atau paling tidak ingin dilihat oleh orang
lain sebagai pribadi yang independen, bertanggung jawab dan self-directing. Memperlakukan
mereka sebagai anak seperti menggurui, mengganggap tidak tahu dan tidak punya
pengalaman, tidak hormat, menyalahkan dsb., sangat tidak memungkinkan
terjadinya proses belajar.
2. PENGALAMAN
Seseorang adalah akumulasi pengalamannya. Seorang
dewasa adalah melimpah dengan pengalaman. Dan pengalaman itu adalah sumber
belajarnya. Mengabaikan pengalaman warga belajar sama dengan membatalkan
kemungkinan belajar.
3. KESIAPAN BELAJAR
Dalam pendidikan formal kesiapan belajar ditentukan
dalam kurikulum. Sebelum seorang siap belajar membaca, ia harus mengenal huruf
terlebih dahulu. Tidak demikian dengan kesiapan belajar bagi orang dewasa.
Mereka sendiri yang menentukan apa yang perlu mereka pelajari berdasarkan
persepsi mereka terhadap tuntutan-tuntutan situasinya.
4. PERSPEKTIF WAKTU
Orang dewasa belajar untuk menghadapi situasinya SAAT
ini. Ini yang membedakannya dari perlunya belajar seorang murid. Murid belajar
untuk masa depannya. Yang dipelajarinya diperlukan untuk nanti, bukan sekarang.
Ia belajar untuk TAMAT, dan kemudian masuk ke dunia BERBUAT, yang bukan belajar
lagi. Tetapi hakekat hidup tidaklah demikian. Belajar adalah proses yang tidak
pernah berhenti dalam hidup. “All living is learning”, kata Confucius. Dan ini
benar untuk pendidikan orang dewasa, dimana belajar bukan merupakan PERSIAPAN bagi
MASA DEPAN, tetapi justru hakekat hidup ini adalah BELAJAR.
5. MATERI BELAJAR
Searah dengan perspektif waktu di atas, orang dewasa
belajar untuk memecahkan masalah. Materi belajarnya adalah “problem centered”.
Pendidikan orang dewasa adalah proses penemuan masalah dan penemuan pemecahan
masalah. Orientasinya adalah PENEMUAN.
Demikianlah
berbagai arus pemikiran yang bermuara dalam suatu pendekatan belajar-mengajar yang
dikenal sebagai pendidikan non-formal, dimana masing-masing memberi segi yang
unik yang menjadikan keseluruhannya suatu “mutiara” berharga bagi proses
belajar dan mengajar. Di dalamnya terkandung pemahaman baru tentang hakekat
peranan dan hubungan antara guru dan murid.
Sedemikian
berbedanya konotasi guru dalam pendidikan formal dibandingkan dengan pendidikan
non-formal ini, sehingga istilah FASILITATOR yang dirasa lebih mewakili
peranannya dan sering digunakan. Demikian pula murid, lebih dikenal sebagai
WARGA BELAJAR.
Untuk memberi gambaran yang lebih luas tentang pendidikan non-formal ini dalam keterhubungannya maupun perbedaan dan persamaannya dengan bentuk dan pendekatan pendidikan yang lain, disajikan diagram di bawah ini.