Surabaya

Kegiatan MKARI di GKIN Air Hidup Surabaya bulan Nopember 2014

Pembukaan MKARI di GKIN Air Hidup
Fasilitator: Agus Santoso, Natalia Nunuhitu, Heri Chin

Pembukaan MKARI di GKIN Air Hidup
Fasilitator: Agus Santoso, Natalia Nunuhitu, Heri Chin




Presentasi tiap kelompok tentang keberagaman




Mengenal dan menerima Keberagaman 




Talk Show bersama Host Televisi di Surabaya,
Sdr. Harold Pah. Alumni Universitas  Petra Surabaya

Moral dan Agama Remaja


BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapam social tanpa terus dibimbing,diawasi didororng dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah "Perkembangan Moral dan Keagamaan Remaja" dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana perkembangan moral remaja?
2.      Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan moral remaja?
3.      Bagaimana pula perkembangan keagamaan remaja?

C. Prosedur Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yaitu langkah-langkah yang ditempuh dengan pendekatan Metode Library Research (kepustakaan) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

D. Sistematika pembahasan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu pertama pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, proses pemecahan masalah dan sistematika pembahasan itu sendiri.

BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2.      Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.

Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:

a.       Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
b.      Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
c.       Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e.       Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.

Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

a.       Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
c.       Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

Perkembangan moral adalah salah satu topi
k tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai
tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-perbuatannya.

Menjadi Fasilitator 2


Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, sepertinya sungguh amat sukarlah untuk mengatakan dengan segera apa fasilitator itu dalam hubungan dengan tugas dan fungsinya, walau secara implisit hal tersebut telah tersirat di dalamnya. Barangkali akan lebih mudah menyebutkan beberapa karakteristik fasilitator yang memberi gambaran peranannya :

-          FASILITATOR itu bukan guru. Ia bukan satu-satunya sumber dan penyalur pengetahuan bagi dan kepada murid, Namun demikian salah satu tugasnya adalah mengajar, dengan cara yang khas, yang harus terus-menerus dipelajarinya.
-          FASILITATOR itu bukan satu-satunya pemilik pengalaman dan dengan demikian dialah satu-satunya otoritas dalam proses belajar. Namun demikian pengalamannya dapat menjadi sumber belajar bagi warga belajar lainnya, sama seperti pengalaman mereka dapat menjadi sumber belajar bagi fasilitator. Pada saat yang sama, walaupun ia bukan bukan satu-satunya otoritas dalam proses belajar yang harus digugu dan ditiru, namun salah satu tugasnya adalah memberi, menyajikan MODEL, yang dapat diteladani dan ditiru oleh warga belajar.
-          FASILITATOR adalah seorang process-helper. Ia adalah seorang teknisi proses belajar yang mendorong terjadinya penemuan (discovery) pada warga belajar. Karenanya ia haruslah seorang yang cakap dalam berkomunikasi, baik secara pribadi (inter-personal) maupun dalam kelompok. Ia harus cakap dan trampil menggunakan berbagai media komunikasi. Ia harus seorang yang articulate, yang dapat menyampaikan maksudnya dengan kata-kata yang jelas dan tepat. Ia harus cakap dan trampil pula untuk menyajikan permainan-permainan berbagai model pengalaman berstruktur, dan menggunakan berbagai mode belajar-mengajar untuk menciptakan suasana belajar yang mendorong penemuan. Ia juga haruslah seorang pendengar yang baik dan sekaligus penanya yang baik.
-          FASILITATOR adalah seorang LEARNER, seorang yang sadar bahwa ia juga sedang belajar dan terus-menerus belajar.

Untuk dapat menjalankan peran sebagai fasilitator dengan baik, seseorang perlu memperhatikan beberapa prinsip fasilitasi yang penting, di antaranya :

MENGAJAR ADALAH SEKALIGUS PROSES BELAJAR BAGI FASILITATOR ITU SENDIRI.

Dengan menyadari bahwa pada waktu mengajar, seorang fasilitator adalah sekaligus warga belajar yang juga sedang belajar dari warga belajar yang lain dan dari proses belajar itu sendiri, maka ia benar-benar “terlibat” dalam proses belajar itu. Ia tidak akan kehilangan “learning tension”, suatu kegairahan belajar timbal balik antara warga belajar dan fasilitator, pada waktu ia belajar “hikmat” baru, cara baru atau pendekatan baru dalam menerapkan suatu kebenaran dalam situasi hidup, atau penemuan baru tentang dirinya, kekurangannya, hal-hal baru yang harus didalaminya lebih lanjut untuk menjadi fasilitator yang lebih mumpuni, yaitu waktu ada pertanyaan-pertanyaan, tantangan belajar, dsb.,yang tidak ia temukan jawabannya dalam belajar bersama itu. Semuanya itu dapat terjadi dalam suatu interaksi dengan warga belajar dan dalam kondisi serta suasana belajar yang terjadi dan diluar ‘PERKIRAAN” proses belajar yang direncanakannya. Kalau fasilitator tidak terlibat, dan menghindar dari learning tension, maka proses fasilitasi yang dikelolanya akan menjadi sajian yang cemplang, seperti masakan tanpa bumbu.

Prinsip pertama di atas akan terwujud dalam proses fasilitasi bila fasilitator memperhatikan prinsip kedua : WARGA BELAJAR ADALAH GURU SAYA. Kalau fasilitator mengganggap dirinya lebih tahu, lebih menguasai pokok bahasan dari warga belajar, dan mereka dianggap bodoh, tidak tahu, tidak mampu menguasai pokok bahasan, dsb., maka yang akan terjadi bukanlah proses fasilitasi. Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang benar-benar ahli dalam suatu bidang pengetahuan, memperlakukan warga belajar yang dihadapinya dengan rasa hormat, dan menjadikan mereka cermin bagi proses belajarnya sendiri. Kalau warga belajar kurang dapat memahami pokok bahasan, tidak diartikannya bahwa mereka bodoh, tetapi itu menjadi cermin baginya untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih lanjut dalam berkomunikasi. Jadi warga belajar adalah cermin bagi fasilitator untuk menemukan apa yang harus dipelajarinya lebih lanjut.

Prinsip yang ketiga adalah : SIAPA SAYA DAN BAGAIMANA SAYA BERTINDAK LEBIH PENTING DARIPADA APA YANG SAYA KATAKAN/AJARKAN
Fasilitator yang baik menampilkan MODEL dari tingkah laku dan sikap hidup yang dikomunikasikannya dan yang dikehendakinya untuk menjadi pengalaman warga belajarnya. Berbeda dengan peran guru yang harus serba tahu, seorang fasilitator dapat menjadi model yang baik dengan mengatakan secara jujur, “SAYA TIDAK TAHU!” Dengan prinsip di atas, maka proses belajar yang baik perlu suatu kondisi yang sesuai dengan prinsip berikut yaitu : “SAJIKAN SUASANA BELAJAR YANG MENDUKUNG PENEMUAN (DISCOVERY)! Dengan mengatakan “saya tidak tahu”, seorang fasilitator menemukan (discover) kebutuhan belajarnya. Dan ini dapat menjadi pengalaman yang tersaji bagi warga belajar untuk juga menemukan. Suasana penemuan adalah suatu pemahaman dan pengalaman yang memerlukan teknik dan metode yang mendorong warga belajar menemukan sendiri apa yang ingin dipelajarinya dan apa yang ingin diambil sebagai “pelajaran” atau kebenaran yang akan diterapkan dalam situasinya. (Ingat, fasilitator adalah seorang teknisi proses, bukan mahaguru yang serba tahu!). Suasana penemuan yang akan disajikan atau diciptakan oleh fasilitator adalah suasana yang bercirikan :
-          SALING PERCAYA (TRUST) : Dimana orang dapat mencoba hal-hal baru, mengemukakan pendapat dan ide-ide baru, kemungkinan-kemungkinan dan jalan keluar tanpa merasa tertekan, takut atau terancam.
-          PENERIMAAN (ACCEPTANCE) : Dimana orang “diterima” apa adanya, walau mereka ditantang untuk mencoba kemampuan dan ketrampilan serta sikap baru, tanpa ada yang merasa takut akan “dipermalukan”.
-          KEYAKINAN (CONFIDENCE) : Pada orang-orang yang mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, bahwa keputusan itu dibuat atas dasar pemahaman dan keyakinan akan yang benar dan baik serta bermanfaat untuk dirinya maupun lingkungannya. Dan kalaupun toh tidak, fasilitator tetap confident, bahwa akibat keputusan itupun akan tetap dapat menjadi learning point atau peristiwa belajar bagi warga belajar tersebut.

Prinsip berikutnya adalah : PRAKTEKKAN EXPERIENTIAL TEACHING, yaitu suatu metode mengkomunikasikan “peristiwa belajar” (learning points) dengan menciptakan suatu pengalaman bagi warga belajar. Bisa dilakukan dengan suatu simulasi, penyajian pengalaman berstruktur yang berupa permainan-permainan, role play dsb. Pengalaman berstruktur itu kemudian diproses mengikuti langkah-langkah tertentu sehingga warga belajar dapat “menemukan” apa yang ingin dipelajarinya. Ingat fasilitator bukan guru!

Prinsip berikut adalah : MENGAJARKAN DENGAN MMPERHATIKAN POLA BELAJAR WARGA BELAJAR. Setiap orang mempunyai cara dan pola belajar yang berbeda. Para ahli membedakan pola belajar dengan berbagai cara. Ada perbedaan dengan menentukan brain dominance dari warga belajar, artinya, sang warga belajar itu cenderung menggunakan otak kanan (yang artistik) atau otak kiri (yang scientific). Ada pula yang membedakan pola belajar dari kepekaan response terhadap indera pendengaran (auditory) atau indera penglihatan (visual) atau penjamahan (kinesthetic). Ada orang yang mudah belajar dengan mendengar kuliah atau siaran radio, tape recorder (auditory) dsb. Sedang orang lain merasa belum belajar kalau belum melakukan sesuatu (kinesthetic), dan lainnya dengan melihat diagram, demonstrasi, peragaan dsb., mereka dapat lebih memahami suatu pokok bahasan. Fasilitator perlu mengenal pola belajar warga belajarnya, dengan demikian ia dapat menggunakan metode, alat-alat peraga materi yang sesuai dengan pola belajar mereka. Dan yang paling penting, seorang fasilitator harus mengenali pola belajarnya sendiri. Mengenal pola belajarnya sendiri adalah langkah pertama menjadi fasilitator yang efektif. Salah satu sebabnya adalah bahwa seseorang cenderung “mengajar” orang lain dengan pola belajar pribadinya. Cara yang mudah untuk kita memahami sesuatu kita anggap sebagai cara terbaik untuk belajar bagi semua orang.

Disamping hal tsb., tipe kepribadianpun mempengaruhi proses belajar-mengajar. Ada banyak pendekatan untuk membedakan pola dan tipe kepribadian. Barangkali yang klasik adalah pendekatan temperamen, dimana dikenal ada empat macam temperamen dengan masing-masing ciri kepribadian yang berbeda. Temperamen tersebut adalah : choleric, dengan ciri kepribadian cepat bertindak, keras, berorientasi pada tujuan; melancholic yang romantis, perasaan, banyak berpikir; analitis yang berorientasi pada keharmonisan suasana lebih dari tujuan; sanguinis yang periang, hangat, humor; dan phlegmatik yang dingin, kokoh bagai batu karang, tidak banyak bicara dan mengeluarkan pendapat.

Diskripsi tipe kepribadian yang lain yang banyak dikenal adalah introvert dan extrovert, tipe pemikir dan perasa, atau yang intuitive. Masing-masing dengan ciri kepribadian, pola tingkah laku dan cara berinteraksi yang berbeda, yang dapat menjadikan proses belajar penuh dengan ketegangan-ketegangan (tensions) atau suatu pengalaman yang memperkaya masing-masing warga belajar, tergantung bagaimana fasilitator membawa dirinya dan menjalankan perannya.
Setelah memahami beberapa prinsip fasilitasi di atas, seorang fasilitator perlu mengembangkan sikap-sikap yang mendukung peran dan fungsinya, antara lain :

RENDAH HATI : Yang terpancar dari sikap dan kesadaran bahwa SAYA TIDAK DAPAT MENGAJAR ORANG LAIN, karena belajar yang mendalam, yang mempengaruhi sikap hidup dan tingkah laku adalah suatu PENEMUAN, yang tidak dapat DIAJARKAN, tetapi diperoleh melalui suatu proses SELF-DISCOVERY. Penemuan-sendiri seperti itu tidak dapat diajarkan, karena pada waktu diajarkan dampaknya tidak lagi sedalam dan seefektif penemuan itu sendiri. Karena itu daya tarik menjadi fasilitator adalah dalam hal menjadi LEARNER, atau warga belajar, bukan guru yang mengajar.

EMPHATI : Suatu sikap untuk mau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Sensitif terhadap apa yang menjadi kekhawatiran orang lain, maupun yang paling dianggap berharga oleh orang lain. Kesedihan warga belajar adalah kesedihannya sendiri. Sukacita mereka adalah sukacitanya. Warga belajar sendiri. Kita sendirilah yang paling tepat memilih dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat.

Sumber-sumber dan Acuan :

1. Srinivasan, Lyra, Perspective on Non-Formal Adult Learning, World Education, 1977
2. Fordham, Paul, Participation, Learning and Change, Commonwealth Secretariate, 1980
3. Knowles, Malcolm S., The Modern Practice of Adult Education, Follet Publishing Company,1980.
4. Kyle, David, World Vision Train the Trainer Workshop, Skopos Corporation, 1984
5. La Haye, T., Spirit Controlled Temperament
6. Materi Lokakarya Cross-Cultural Facilitator’s Workshop.
7. Bina Swadaya, Risalah Lokakarya Media Pendidikan Orang Dewasa, 1981

Menjadi Fasilitator 1


Oleh : Tri Budiardjo
FASILITATOR adalah sebuah sebutan fungsi dalam proses belajar-mengajar. Kata itu berasal dari bahasa Latin yang mempunyai pengertian : menjadikan sesuatu dapat berjalan dengan lancar, mulus, seperti fungsi minyak pelumas pada engsel pintu. Jadi kata fasilitator mempunyai pengertian dasar : menjadikan mudah, menjadikan sesuatu berlangsung mulus, atau memperlancar proses.

Kata FASILITATOR dalam bahasan ini dipakai dalam konteks belajar-mengajar yang didasarkan pada suatu pendekatan belajar yang khas, yang disebut pendidikan orang dewasa, pendidikan luar sekolah, atau secara umum, pendidikan non-formal. Oleh karena itu untuk memahami peran FASILITATOR, perlu dipahami konsep dan pendidikan non-formal tersebut. Pendidikan non-formal, bukanlah sekedar jenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan formal. Terlalu sempit pula barangkali kalau pendidikan non-formal ini dilihat sebagai cara baru, metoda mendidik baru atau bentuk baru mendidik. Pendidikan non-formal ini mempunyai essensi dan tujuan yang sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Pendekatan terhadap proses belajar-mengajar yang non-formal ini dapat dilihat sebagai suatu muara yang terjadi dari berbagai arus/aliran sungai-sungai pikiran dan disiplin yang beraneka ragam. Pendidikan non-formal ini dapat dikatakan berakar pada suatu proses analisa sosial yang melahirkan gerakan-gerakan yang memberontak terhadap sekolah. Tetapi pada saat yang sama berhutang budi pada pendekatan penerapan psikoterapi (yang biasa dilakukan pada konsultasi individu) pada dunia pendidikan yang dikenal sebagai pendekatan non-directive teaching. Demikian pula, pendidikan non-formal ini berkembang tak lepas dari perkembangan ilmu pendidikan. Khususnya yang dikenal sebagai Andragogy atau pendidikan orang dewasa.

Nama-nama Ivan Illich dan Paulo Freire akan sangat sering terdengar bila pendidikan non-formal dibicarakan. Memang mereka berdualah yang memberontak terhadap sistim sekolah. Keduanya menggugat peranan guru dan sekolah yang terlalu berlebihan. Ijasah, diploma, gelar dsb, mengkelaskan orang menurut apa yang telah diajarkan kepada mereka oleh guru - dengan demikian dianggap telah memenuhi syarat, dianggap sebagai yang berhak untuk menjalankan suatu fungsi kemasyarakatan, berhak mendapat previlege tertentu, yang tidak boleh dimiliki oleh mereka yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut.

Hal ini terjadi, menurut Illich, karena asumsi yang keliru bahwa “ada suatu rahasia” untuk segala sesuatu dalam hidup ini. Dan kwalitas hidup itu tergantung pada seberapa banyak rahasia itu dapat dimengerti oleh seseorang, dan bahwa rahasia itu hanya dapat dinyatakan dan dipelajari secara bertahap-tahap dan teratur dan yang dapat membuka serta menyatakan rahasia itu adalah sang guru saja. Guru menjadi agen tunggal dan satu-satunya penyalur rahasia hidup yaitu pengetahuan. Oleh karena itu Illich menganjurkan suatu pendekatan proses belajar yang menyungsangkan konsep sekolah, dimana murid adalah yang memutuskan, dalam hubungannya dengan lingkungannya, untuk memilih apa yang mau ia pelajari dan dari siapa ia mau belajar. Pusat belajar tidak pada guru, tetapi pada murid.

Bagi Freire, pendidikan formal dilihat sebagai sistim bank, dimana guru sebagai bank informasi yang menstransfer pengetahuan dan informasi yang penting bagi hidup ke kepala murid. Dengan demikian hubungan guru dan murid adalah hubungan yang vertikal, antara yang lebih tahu dengan yang tidak tahu apa-apa, antara yang berbicara dan yang hanya mendengar. Inilah hubungan paternalistis yang dikecamnya. Pendekatan pendidikan seperti ini tidak menjadikan murid dilengkapi kesadaran akan (dan dengan demikian mampu menanggapi) realita konkrit dunia mereka. Sekolah dianggap menjadi instrument yang paling menentukan dalam membentuk dan mempertahankan budaya “inggih sendiko” dan budaya “diam” masyarakat.

Menurut Freire, pendidikan seharusnya mampu menolong orang menjadi makin sadar dan mampu bertanggung jawab bagi dirinya dan dunianya melalui proses refleksi, aksi-refleksi, dst., yang disebutnya sebagai praksis. Inti belajar ialah suatu penemuan (discovery) bukan suatu dikte, yang dapat terjadi melalui suatu dialog horizontal dimana : tak seorangpun mengajar orang lain, tidak ada orang yang dapat belajar sendiri, dan orang belajar bersama dan bertindak bersama terhadap realitanya. Dengan demikian sumber belajar bukan pada guru, tetapi guru dan murid belajar bersama-sama. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk terjadinya proses dimana mereka sama-sama bertumbuh. Proses ini dikenal sebagai conscientizacao (conscientizacion), yang diartikan sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran diri yang positif dari seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan dan masyarakatnya. Oleh banyak orang itu sering disebut sebagai proses penyadaran diri, walau istilah itu belum cukup menggambarkan makna yang terkandung dalam conscientizacao itu.

Istilah penyadaran diri atau sejenisnya sebenarnya telah banyak dipakai oleh para psikolog maupun psikoterapis seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow. Penerapan pendekatan psikoterapi dalam proses belajar-mengajar ini oleh Carl Rogers diartikan sebagai tanggung jawab guru untuk mendorong dan menolong menumbuhkan kapasitas warga belajar untuk memilih dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Guru harus “beriman”, bahwa dalam kondisi-kondisi yang tepat warga belajar akan menyataragakan kemampuan dan kapasitas untuk bertumbuh, menguji diri sendiri secara kritis, mengejar kemahiran dan secara kreatif mengekspresikan diri. Dalam proses belajar seperti ini guru mempunyai peran ganda, sebagai warga belajar yang juga sedang belajar dan sekaligus sebagai nara sumber yang menyediakan struktur belajar dan pengacu proses. Fungsinya, menurut Rogers, adalah menciptakan suasana bagi keterlibatan kelompok warga belajar dengan mengkomunikasikan kepercayaan (trust) yang murni dalam kelompok melalui berbagai cara yang cerdik.

Searah dengan Rogers, Maslow memperkenalkan konsep self actualization, suatu pengembangan (ekspansi) citra diri yang positif, pengembangan batiniah, tendensi berbuat baik, makin bertumbuhnya pemahaman dan apresiasi terhadap sesama, alam semesta dan diri sendiri, makin bertumbuhnya penerimaan diri, pemanfaatan bakat dan menikmatinya, bertumbuhnya sikap percaya diri dan kemandirian, dan sebagai hasil kesemuanya itu, bertumbuhnya kemampuan yang makin besar untuk mengubah dan membentuk lingkungan. Menurutnya, hidup lebih baik dapat terjadi kalau orang mengenal dirinya sendiri secara baru, baik secara pribadi maupun sebagai mahluk sosial. Persepsi dan perasaan positif melahirkan tindakan-tindakan yang positif. Kesadaran diri-baru yang terwujudkan dalam perilaku yang positif, dibedakan dari perilaku mampu mengatasi masalah (problem solving behaviour) yang merupakan salah satu aspek belajar. Jereme S. Bruner memperkenalkan konsep “autonomy of self reward”, suatu “pahala” yang dengan sendirinya diterima dan dialami oleh warga belajar bila kemauan belajar itu timbul dari motivasi warga belajar itu sendiri dan bila mereka secara relatif bebas dari “iming-iming” pahala dari luar (ijasah, sertifikat, status keteladanan dsb.) maupun bebas dari ketakutan pada “penghakiman” (tidak lulus, tidak memenuhi syarat, belum bisa, bodoh, dsb). Dengan demikian warga belajar akan cenderung mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dan keyakinan diri untuk mencari alternatif, pilihan-pilihan jalan keluar bagi permasalahannya. Peranan guru disini adalah dalam hal penyediaan kondisi sedemikian rupa sehingga warga belajar akan bertumbuh kemampuannya dalam mengatasi masalahnya.

Tidaklah lengkap membahas pendidikan non-formal tanpa menyebut Malcolm S. Knowles yang sering dijuluki sebagai bapak pendidikan orang dewasa (andragogy). Asumsi dasar andragogy yang dikembangkannya adalah bahwa orang dewasa mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam untuk tidak hanya bertanggung jawab (self directing) tetapi juga untuk dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bertanggung jawab (self-directing). Oleh karena guru tidak boleh memaksakan keinginan dan pandangannya pada murid (yang adalah orang dewasa) tetapi memberikan tanggung jawab belajar pada murid itu sendiri. Keterlibatan diri adalah kunci bagi proses belajar. Karenanya perlu dikembangkan teknik-teknik belajar dimana warga belajar yang adalah orang dewasa dapat menilai kebutuhan-kebutuhannya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, ambil bagian dalam tanggung jawab mengadakan “pengalaman belajar” dan mengevaluasi sendiri program-program belajarnya.

Dalam proses ini peranan guru adalah sebagai “teknisi profesional” bagi proses belajar. Dia bukan penyalur informasi dan pengetahuan. Ia adalah pembimbing proses dan pada saat sama nara sumber bagi proses belajar. Mengajar yang baik adalah mengelola dengan baik interaksi antara dua variabel belajar yang penting yaitu warga belajar dan lingkungan/suasana belajarnya.
Dibandingkan dengan pendidikan formal pada umumnya, maka ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan orang dewasa:
1. PANDANGAN TENTANG DIRI WARGA BELAJAR (SELF-CONCEPT)
Anak-anak (dan murid pada umumnya) melihat dirinya sebagai dan dalam hubungan tergantung (dependent). Tidak demikian halnya dengan orang dewasa yang melihat dirinya atau paling tidak ingin dilihat oleh orang lain sebagai pribadi yang independen, bertanggung jawab dan self-directing. Memperlakukan mereka sebagai anak seperti menggurui, mengganggap tidak tahu dan tidak punya pengalaman, tidak hormat, menyalahkan dsb., sangat tidak memungkinkan terjadinya proses belajar.

2. PENGALAMAN
Seseorang adalah akumulasi pengalamannya. Seorang dewasa adalah melimpah dengan pengalaman. Dan pengalaman itu adalah sumber belajarnya. Mengabaikan pengalaman warga belajar sama dengan membatalkan kemungkinan belajar.

3. KESIAPAN BELAJAR
Dalam pendidikan formal kesiapan belajar ditentukan dalam kurikulum. Sebelum seorang siap belajar membaca, ia harus mengenal huruf terlebih dahulu. Tidak demikian dengan kesiapan belajar bagi orang dewasa. Mereka sendiri yang menentukan apa yang perlu mereka pelajari berdasarkan persepsi mereka terhadap tuntutan-tuntutan situasinya.

4. PERSPEKTIF WAKTU
Orang dewasa belajar untuk menghadapi situasinya SAAT ini. Ini yang membedakannya dari perlunya belajar seorang murid. Murid belajar untuk masa depannya. Yang dipelajarinya diperlukan untuk nanti, bukan sekarang. Ia belajar untuk TAMAT, dan kemudian masuk ke dunia BERBUAT, yang bukan belajar lagi. Tetapi hakekat hidup tidaklah demikian. Belajar adalah proses yang tidak pernah berhenti dalam hidup. “All living is learning”, kata Confucius. Dan ini benar untuk pendidikan orang dewasa, dimana belajar bukan merupakan PERSIAPAN bagi MASA DEPAN, tetapi justru hakekat hidup ini adalah BELAJAR.

5. MATERI BELAJAR
Searah dengan perspektif waktu di atas, orang dewasa belajar untuk memecahkan masalah. Materi belajarnya adalah “problem centered”. Pendidikan orang dewasa adalah proses penemuan masalah dan penemuan pemecahan masalah. Orientasinya adalah PENEMUAN.

Demikianlah berbagai arus pemikiran yang bermuara dalam suatu pendekatan belajar-mengajar yang dikenal sebagai pendidikan non-formal, dimana masing-masing memberi segi yang unik yang menjadikan keseluruhannya suatu “mutiara” berharga bagi proses belajar dan mengajar. Di dalamnya terkandung pemahaman baru tentang hakekat peranan dan hubungan antara guru dan murid.

Sedemikian berbedanya konotasi guru dalam pendidikan formal dibandingkan dengan pendidikan non-formal ini, sehingga istilah FASILITATOR yang dirasa lebih mewakili peranannya dan sering digunakan. Demikian pula murid, lebih dikenal sebagai WARGA BELAJAR.
Untuk memberi gambaran yang lebih luas tentang pendidikan non-formal ini dalam keterhubungannya maupun perbedaan dan persamaannya dengan bentuk dan pendekatan pendidikan yang lain, disajikan diagram di bawah ini.